Cerpen | Paraplegia di Tubuh Misa

28 komentar
paraplegia di tubuhku 

Misa sedang asyik berkutat dengan buku-bukunya ketika sang ibu masuk ke kamar. Begitu fokus dan seriusnya gadis SMP kelas sembilan ini, hingga kedatangan ibunya dikamar seolah sama sekali tak mempengaruhinya.

Tindak tanduk misa akhir-akhir ini di rumah di luar kebiasaan, hal ini dirasakan sang ibu agak janggal, ada rasa senang karena misa lebih banyak bergumul dengan buku-bukunya karena akan menghadapi ujian akhir dikelas akhir SMP nya, namun disisi lain misa semakin hari dirasa semakin menarik diri dari komunikasi dengan anggota keluarga lain selain dirinya; adik, dan juga ayahnya.


Misa Awaliyah Yang Pintar

Di kalangan ibu-ibu tetangga, banyak yang memuji dengan prestasi gadis yang bernama lengkap Misa Awaliyah ini, misa dikenal baik dalam berteman dilingkungan rumahnya, di sekolahnya pun ia selalu menjadi langganan bintang kelas setiap semesternya.

Namun, ketika tiba-tiba misa dikabarkan sakit dan tersebar kabar dia terkena TBC, para tetangga yang notabene ibu-ibu itu mulai bergunjing, ko bisa gadis 15 tahun itu terkena penyakit yang rata-rata menyerang para perokok.

“Mis sudah diminum obatnya?” ibu misa memberi pertanyaan yang sebenarnya tak butuh jawaban, karena ia tahu Misa adalah sosok yang disiplin, pun dalam mengonsumsi obat-obat resep dokter, di meja belajarnya pun ia melihat bekas sobekan alumunium foil pembungkus pil merah besar yang sudah Misa konsumsi rutin tiga kali sehari dalam empat bulan terakhir.

Misa menengok mamahnya sebentar, namun tangannya tak lepas dari buku yang sedari tadi ia baca. Ibunya memperhatikan dengan seksama putri pertama di keluarganya itu, gadis berwajah oval itu semakin hari semakin menjadi sosok pendiam di rumah, namun gurat wajahnya tetap tegar walau sekarang dia harus duduk di kursi roda.

“Mah, besok jadwal kita ke dokter ya?”.

“ Iya sayang, tapi besok kita ke dokter syaraf ya” suara ibu misa terdengar lebih lirih. Kadang ia merasa kasihan, di usia belianya, misa harus pulang pergi ke beberapa dokter setiap minggunya. Bermula ketika misa mengalami demam dan sesak napas, dokter memvonis dia terkena TBC yang mengharuskannya mengonsumsi obat secara teratur tanpa henti selama enam bulan, belum selesai sampai di situ, ketika baru tiga bulan dengan TBC-nya, tiba-tiba kakinya menjadi kaku dan tak bisa di gerakan, maka dokter bagian dalam yang rutin kami datangi memberikan surat rujukan ke dokter tulang, namun baru dua kali berkonsultasi, dokter tulang pun kembali merujuk Misa ke dokter syaraf.

Misa berhenti membaca dan memutarkan kursi roda ke arah ibunya. Ia menatap kepada sosok ibunya dengan raut penuh hormat.

“Mah, misa minta maaf ya karena selalu merepotkan mamah” suaranya lembut sarat permohonan.

Suara misa mengingatkan ibunya saat-saat misa awal masuk SMP favorit yang selama ini diidam-idamkan. Keceriaannya tak terbendung manakala beberapa sahabat terbaiknya juga diterima di sekolah yang sama, ia merasa bahagia karena akan selalu bersama-sama dengan beberapa teman terbaik sekolah dasarnya. Namun seiring waktu berlalu, perlahan situasinya mulai berubah!

Dalam keluarga, bukan kebahagiaan yang akan selalu kita jalani, namun dinamika hidup yang akan menemukan kita dengan dua sisi kehidupan, dan seiring berjalannya waktu kita akan terus belajar meyikapi kehidupan dengan bijak. Misa belajar menjadi lebih dewasa, ketika menginjak kelas tujuh SMP bersamaan dengan kelahiran adiknya, seorang bayi laki-laki.

Adik laki-laki misa saat ini berusia dua tahun enam bulan, usia di mana siapa pun yang melihatnya sebagai sosok malaikat lucu, sehingga ayahnya yang bekerja sebagai buruh bengkel di luar daerah yang biasanya pulang dua minggu atau sebulan sekali, kini selalu menyempatkan pulang setiap akhir minggu di waktu liburnya demi menemui anak laki-laki yang selama ini sangat ia inginkan.

Misa ketika masih sehat, walaupun disibukkan dengan sekolah barunya, selalu menyempatkan waktu membantu ibunya di dapur atau sekedar mengasuh adiknya ketika ibu sedang mengerjakan sesuatu.

Kini ibu misa bertanya-tanya dalam hati, ke mana sosok misa yang dulu? Misa yang selalu ceria ketika bertemu dengan teman-teman sekolahnya, misa yang selalu semangat ketika bekerja kelompok mengerjakan tugas sekolah, dan Misa yang selalu memperlihatkan jiwa mengayomi ketika sedang bercengkerama dengan adiknya.

“Mamah kenapa? Ko kaya melamun?” Misa memperhatikan riak air wajah ibunya dengan seksama.

“Hmm... enggak sayang, kamu jangan pernah bilang begitu, mamah tidak merasa direpotkan oleh putri cantik mamah” jawab ibu misa sambil menatap mata Misa yang bening dan tulus.

“Terima kasih mamah selalu ada buat misa” ucapnya terdengar manis, sambil lalu memutar kursi roda ke tempat tidurnya.

“Iya sayang, insyaAllah mamah akan berusaha yang terbaik untuk misa” ucap ibu sambil memperhatikan kedua tangan anak sulungnya mengayun kursi roda secara perlahan, meninggalkan kesan mandiri dimata ibunya.

kamar

Sekilas ibu mengitarkan pandangannya ke kamar misa itu, tempat tidur itu telah bercokol di sana hampir delapan tahun. Di sinilah saksi anak gadisnya menjadi sosok yang pemberani namun juga sensitif disisi lain sebagai sosok perempuan yang mulai tumbuh remaja, pikir ibu yang mendadak melankolis.

“Maaah....... “ suara itu membangunkan ibu dari melankolisme yang menyergap hatinya. Suara tegas dan lirih itu mengandung magnet yang selalu menyedot perhatiannya, ibu sudah benar akan hal itu.

“ Ya, sayang....!” ibu menghampiri misa yang berada disamping tempat tidurnya.

“Menurut ibu, aku masih bisa sembuh gak?” perempuan belia itu memberikan pertanyaan yang membuat ibu merasakan sesak tak terkira.

InsyaAllah sayang, Allah pasti melihat perjuangan mu yang luar biasa yang tak kenal menyerah, kita sudah berikhtiar maksimal, pasti Allah akan memberikanmu kesehatan” tegas ibu menguatkan misa.

 “Mamah lebih sayang misa atau adek?” Pertanyaan misa tiba-tiba

“Dua-duanya anak mamah, jadi ya di sayang dua-duanya dong” jawab ibu mencoba tenang dengan keanehan pertanyaan misa, walaupun belum terlalu paham juga dengan maksud yang tersirat dalam pertanyaan itu.

Senyum di bibir misa kembali tersimpul manis dibalik rasa sakitnya.

“Aku kira mamah lebih sayang adek, tapi Alhamdulillah mamah ternyata sayang aku juga”.

“Tapi kayaknya adek lebih beruntung, dia disayang sepenuhnya oleh mamah dan ayah”

Ibu sama sekali tidak bisa menebak jalan pikiran misa. Misa kini serasa telah berubah menjadi misteri. Gadis itu menjadi sensitif, dibalik kelembutan, tulus dan mulia hatinya. Dan itu membuat hati ibu misa menjadi terheran-heran sekali.

Ingin sekali ibunya memberikan pengertian tentang kasih sayang orang tua, ketika tetiba terdengar suara adik misa yang masih balita terjaga dari tidurnya.

“Adek bangun mah” sungguh tak tersirat nada kecemburuan terhadap adiknya, jengkel atau marah, diucapkan dengan nada datar dan wajar, setidaknya begitu yang terdengar ibu misa.

“Baiklah, kamu istirahat ya sayang, besok kita ke dokter, mamah sudah minta izin ke wali kelasmu untuk tidak sekolah dulu”

“ya, mah” jawab misa singkat.

Ibu memeluk misa, berharap bisa memberikan kehangatan dan kekuatan dalam menjalani masa-masa sulit untuk gadis belia itu dalam menjalani masa sakitnya.

Tapi juga teka-teki sikap misa masih menjadi pertanyaan besar bagi ibunya. Apakah ini dampak dari bertubi-tubinya sakit yang di alaminya yang berpengaruh ke emosionalnya? Pertanyaan itu masih berputar-putar dan menghilang, menguap, sementara ketika terdengar kembali tangisan adik misa dikamar sebelah, sebuah pertanda ibu harus undur dari kamar itu.

“ adik nangis mah” tutur misa memberitahu ibunya.


Kehadiran Sang Adik

Ibu merasakan ayah misa sangat bahagia ketika anak kedua lahir, dia berusaha mengabulkan cita-citanya untuk mensyukuri proses kelahiran dengan meng-aqikah-kan bayi rupawan itu, dua kambing jantan! Tak lupa diundanglah sanak saudara serta ibu-ibu tetangga.

“Wah lengkap sudah rasanya melihat keluarga kalian, sudah ada Misa yang cantik dan pintar, sekarang ditambah kelahiran bayi lucu ini” ujar Bu Retno tetangga sebelah rumah.

“Bayinya selain lucu kayanya bakal calon ganteng nih” tukas bude rani disambut derai tawa keluarga dan tetangga yang hadir. Wajah ayah tersipu-sipu, dalam hati tentu saja dia sangat bahagia dan bangga akan dirinya.

“Kudengar kalian sampai program kehamilan khusus demi berusaha mendapatkan anak laki-laki ya?” selidik pakde Ramli, paman dari ayah Misa.

“Iyaa...,” jawab ayah berlagak mengangkat bahu.

“Kami dulu sampai berkonsultasi masalah program kehamilan yang kedua ini, dari mitos kebiasaan sampai aturan makan kita coba” ayah Misa dengan antusiasnya menjelaskan bagaimana asal usul proses kehamilan istrinya.

Sesungguhnya setiap proses kehamilan memang istimewa, tapi kali ini ayah Misa memang sangat bersemangat, dia berusaha sebisa mungkin untuk peduli kondisi istri dan jabang bayi yang dikandungnya, di sela-sela istirahat kerjanya digunakan untuk menelepon ke rumah, sekedar menanyakan bagaimana kondisi kehamilan permaisuri hidupnya.

Maka tatkala waktu kelahiran yang ditunggu-tunggu telah tiba, dan bayi berjenis kelamin laki-laki itu lahir dengan normal dan sempurna, pecahlah tangis bahagia ayah Misa sambil meng-adzani dikuping kanan dan meng-qomati dikuping kirinya.

Sejak malam itu, hidupnya serasa bertambah gairah, ayah misa meminta izin ke bengkel barang beberapa hari untuk menemani istri dan pangeran baru di keluarganya.

Semua memaklumi rasa pedulinya yang tiba-tiba sangat luar biasa kepada keluarga, karena keluarga besarnya memahami keinginan ayah Misa yang ingin mempunyai anak laki-laki.

Berita tentang kebahagiaan ayah Misa kala itu dalam sekejap menyebar di kalangan tetangga. Bahkan berita itu dibumbui oleh ibu-ibu sekitar rumah bahwa ayah misa lebih sayang bayi laki-lakinya dibandingkan dengan Misa!. Tentu saja kabar itu juga sampai ke telinga misa. Namun anehnya misa sama sekali tak menampakkan kemarahan.

“Yah namanya juga bayi baru lahir, pasti kelihatan lebih disayanglah, kan bayi memang lagi lucu-lucunya dan menggemaskan”.

Itulah kalimat yang terucap dari mulut misa, ketika teman-temannya membecandainya kalau sang ayah lebih sayang kepada adiknya dibandingkan dia.

*****

Ketika adik laki-laki misa lahir, dia selalu menampakkan kepedulian dan rasa sayang kepada adiknya, dari membantu menyiapkan air hangat untuk memandikan atau sekedar mengasuh jika kebetulan ibu ada pekerjaan di dapur.

“Kemarin ibu dengar waktu belajar bersama di teras, teman-teman kamu bilang kalau ayah mungkin lebih sayang adik dibandingkan kamu”. Kata ibu suatu kali.

“Iyah, teman-teman memang begitu kalau bicara suka kelewatan kadang-kadang. Tapi Misa paham ko, mereka hanya bercanda mah” pintas Misa meralatnya.

Ibu misa merasa amat iba dengan ketulusan hati anak gadisnya. Kadang ia merasa bersalah, karena waktu yang dulu seratus persen dicurahkan untuk misa, kini lebih banyak digunakan untuk mengurus adik laki-lakinya.

“Misa percaya mamah akan selalu sayang Misa. Ya kan?”.

“Tentu sayang, mamah janji tidak akan mengabaikan Misa dan juga adikmu. Kalian adalah buah hati mamah, kebanggaan mamah”.

“Amiin!” sambung misa terdengar serius.


Bertemu Dokter

Ibu dan Misa datang ke rumah sakit pada jam sembilan pagi. Ada cukup banyak pasien yang juga sudah datang diruang tunggu.

Bagi mereka ini adalah ke sekian kalinya kunjungan ke rumah sakit, namun hari ini dokter syaraf yang akan mereka kunjungi, sesuai rujukan dari dokter tulang yang  mereka temui minggu sebelumnya.

Walaupun konsultasi dengan dokter tulang baru dua kali mengenai kondisi persendian misa yang tetiba menjadi kaku hingga susah di gerakan apalagi untuk berjalan, dokter menyimpulkan bahwa selain tulang-tulang persendian kaki misa dalam kondisi yang tidak baik, juga kemungkinan kekakuan sendi-sendi tulangnya dipengaruhi oleh syaraf, maka sang dokterpun memberikan rujukan kepada dokter syaraf untuk mencari second opinion tentang penyakit yang dialami misa.

*****

Tertera jelas dari kursi tunggu pasien nama dr. Ratni Mulyani di papan yang tergantung di pintu praktik. “Oh, ini nama dokter yang akan kutemui hari ini” tukas misa dalam hatinya.

Nomor antrean sembilan erat di genggaman ibu misa. Ibu masih bersyukur mendapatkan antrean di bawah nomor sepuluh di antara banyaknya pasien yang akan berobat hari itu.

Diam-diam mata ibu sering mencuri pandang ke arah misa yang duduk di kursi roda. Anak gadisnya tampak tetap cantik walau harus duduk di kursi roda, dengan kaos kasual berwarna biru muda.

Sementara misa dan ibu di rumah sakit, adik misa dititip ke bude rani yang kebetulan rumahnya tidak berjauhan.

Tak lupa beberapa popok, makanan bayi serta beberapa mainan di masukan ke dalam tas bayi sebelum bude rani menjemput adik misa.

Empat puluh menit sudah berlalu, perawat memanggil pasien nomor delapan untuk masuk ke dalam ruangan praktik dokter, ada rasa kaku di hati misa ketika bertemu dengan orang-orang baru, pun dokter syaraf ini, “ seperti apa ya orangnya?” celetuk mira dalam hati.

Sampai tibalah pasien nomor delapan keluar ruangan, dan berganti perawat memanggil nomor yang sedari tadi setia di tangan ibu. Ibu mendorong kursi roda  misa memasuki ruangan praktik disambut senyum hangat perawat yang mempersilahkan mereka duduk.

Akhirnya Misa bertatap wajah dengan dokter Ratni, wajahnya teduh dengan jas putih ciri khas praktik dokter, dibalut celana denim dan kaos biru gelap yang sepadan dengan setelan bawahannya menambah kesan anggun.

Ibu menyerahkan berkas dari tempat registrasi dan juga surat rujukan dari dokter tulang, dokter Ratni menerima berkas dengan senyum indahnya, kemudian dengan serius membaca surat rujukan itu.

“Bisa ibu ceritakan kembali dari awal bagaimana kondisi... , hmm... Misa yah namanya?” pinta dokter Ratni kepada ibu. Permintaan yang serupa ketika dua minggu lalu bertemu dokter tulang untuk pertama kalinya.

konsultasi dengan dokter


Mulailah ibu menceritakan panjang lebar bagaimana misa sampai berada di kursi roda ini, berawal dari demam dan sesak napas, menjalani rawat inap, di diagnosa mengidap TBC, sampai akhirnya menginjak bulan ke tiga kaki misa terasa kaku, sulit di gerakan sampai akhirnya mengalami kelumpuhan.

Dokter Ratni dengan seksama mendengarkan kronologis dari ibu, sesekali memanggut-manggutkan kepalanya.

“Betul apa yang dikatakan ibumu nak?” tanya dokter Ratni kepada misa sambil mengalihkan pandangan kepada gadis yang sedari tadi hanya duduk tertunduk saja.

“Betul dok” misa menjawab sambil menengadahkan wajahnya, membalas tatapan dokter Ratni yang teduh itu, ada rasa nyaman ketika matanya bertatapan dengan dokter berusia lima puluh tahunan itu.

“Dari cerita ibu dan juga keterangan dari rujukan dokter tulang, diagnosa awal saya, misa mengalami paraplegia” dokter memberi penjelasan kepada ibu dan juga misa.

“Apa itu dok?” tanya ibu penasaran dengan istilah baru yang didengarnya.

“Paraplegia ringkasnya adalah kondisi di mana bakteri menyerang persendian bawah, ini yang menyebabkan tulang kaki misa terasa kaku dan otot-otot di sekitarnya mulai mati rasa” jelas dokter memberikan keterangan tambahan.

“Ini baru diagnosa awal, untuk lebih meyakinkan, kita bisa melakukan CT Scan pada Misa”  cetus dokter Ratni dengan nada serius namun tetap lembut.

“Tapi biasanya paraplegia pada penderita TBC terjadi jika TB-nya sudah akut atau lama tak terobati, sedang misa baru empat bulan ya sampai saat ini?” dokter Ratni bertanya dan menatap dengan hangatnya pada Misa.

Misa menganggukkan wajah tanda mengiyakan pertanyaan dokter, Misa merasakan ajakan interaksi dokter semakin membuatnya merasa nyaman dalam berkomunikasi.

“Hmm....   adakah yang merokok di rumah?” selidik dokter, kali ini tatapannya beralih pada ibu.

“Ayah!” jawab Misa tiba-tiba mendahului ibu, jawaban singkat dengan nada jelas dan meninggi.

“Sampai saat ini masih merokok?” kembali dokter bertanya pada pasangan ibu dan anak ini.

“Iya...” kali ini jawaban ibu dan misa hampir serempak.

“Hmm... ok, selanjutnya misa, apakah mengalami rasa sakit ketika buang air kecil?” tanya dokter, kembali menyelidik misa.

“Iya dok” kali ini jawaban misa tak terdengar kaku, lebih bersahabat

Ibu merasa kaget, karena ia tak tahu, putrinya belum pernah bercerita tentang rasa sakit itu.

“Hmm..., apakah misa suka merasa mual?” kali ini pertanyaan dokter semakin dianggap aneh oleh ibu.

“Iya dok” kembali misa mengamini pertanyaan dokter, dan ini membuat ibu semakin tak karuan.

“Muntah?” tanya dokter singkat.

“Iya dok, tapi muntahnya jarang, seringnya mual saja” terang Misa pada dokter, sedang ibu semakin merasa kaget dengan pengakuan anak gadisnya.

“Paraplegia ini kasusnya jarang, tapi saya pernah juga punya pasien dengan kasus serupa misa, bahkan anak-anak, kalau tidak salah dulu pasiennya masih kelas enam SD, sangat mirip dengan misa, tapi kondisinya lebih parah karena buang air kecilnya sudah harus dibantu alat, juga kondisi emosionalnya tidak stabil, karena dia merasa kurang diperhatikan orang tuanya setelah kelahiran adiknya, pasiennya mengalami muntah akut bahkan sampai tiga kali sehari” kalimat-kalimat dokter mengalir menceritakan pengalaman serupa Misa.

“Aku juga benci ayah! Ayah pernah membentakku sehingga aku tidak berani lagi untuk sekedar menatapnya, ayah tidak pernah memelukku lagi kalau pulang kerja seperti dulu-dulu, sepertinya hanya adek yang ada di pikirannya!” entah kekuatan apa yang menyemburkan kata-kata yang selama ini terpendam di dada Misa.

Tetiba Ibu tak kuasa lagi mendengar apa yang diutarakan Misa, serasa ada petir menghajar kepalanya yang semakin berdenyaran, dadanya serasa sesak, walaupun mencoba tegar, air matanya sulit tertahan, ia menatap Misa dengan kasih yang dalam. Inikah misteri yang tersimpan dibalik segala sikap dan tindakan anak gadisnya akhir-akhir ini.

Dokter Ratni masih tenang mendengarkan curahan hati Misa, ia percaya Misa butuh untuk mencurahkan apa yang selama ini ia rasakan.

“Ibu, dari keterangan misa yang sering mual bahkan sampai muntah, kemungkinan lain Misa mengalami psikosomatis, yaitu kondisi mental atau pikiran misa yang tertekan yang berpengaruh ke kondisi badannya yang semakin drop. Saran saya, ibu komunikasikan ini dengan suami, sebaiknya jangan merokok dilingkungan dalam rumah, terutama di depan anak-anak, di mana sistem imun mereka masih sangat rentan, kalau bisa ajak suami anda ketika nanti misa berobat selanjutnya” seru dokter pada ibu.

Denyar-denyar dikepala ibu belum hilang ketika dokter memberikan resep obat dan juga surat pengantar untuk jadwal berobat selanjutnya.

Dengan tenaga yang masih tersisa, ibu pamit dari ruang praktik dokter Ratni sembari mendorong kursi roda Misa.

Di balik gorden ruangan praktik, tanpa bergeming dari tempat berdirinya, dokter Ratni  bisa melihat bagaimana pasangan ibu anak ini menyusuri selasar rumah sakit . Samar seleret senyum hangat menghiasi bibirnya yang tanpa polesan, berharap kali kedua check up, rona wajah Misa lebih bersinar dibandingkan pertemuan awal mereka.

Related Posts

28 komentar

  1. Saya tunggu kelanjutan ceritanya ya, Pak :)

    BalasHapus
  2. Nekt dong pak...
    Penasaran kbr misa selanjutnya 😭
    Keren ceritanya

    BalasHapus
  3. Baru tahu penyakit ini. Next, Thor!

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Fiksi bu, tapi diambil dari kisah nyata sebagian

      Hapus
  5. Fyuuuh...langsung teringat masa kecil bunda yang juga harus terkena bronkhitis gegara sekitar merokok. Bukan hanya rokok, tapi rupanya usaha sablon mamang juga menambah parah. Thinernya itu bahaya.

    Mudah2an tidak ada lagi Misa Misa berikutnya... :(

    BalasHapus
  6. Pak yoo
    Semoga lekas sembub Misa. Ya ampun tak bisa membayangkannya

    BalasHapus
  7. Ini fiksi, kan, ya, Pak Yo? Huhu terharu gitu sama perjuangan Misa.

    BalasHapus
  8. Baru denger istilah paraplegia, btw kisahnya bagus banget dan mengalir

    BalasHapus
  9. Ini masih to be continued kan ya? Hua penasaran banget kelanjutannya

    BalasHapus
  10. wah Pak Yonal ini guru apa sih? hwaaaa ceritanya mantep banget bikin fiksinya aku mau berguru ini ><

    BalasHapus
  11. Awal baca kirain cerita tentang sakitnya pak yonal kemaren, ternyata tentang misa. Baca ini jadi teringat anak-anak, semoga selalu diberikan kesehatan. Amin ya Allah

    BalasHapus
  12. Semoga rona wajah Misa bersinar di hari esok dan seterusnya :)

    BalasHapus
  13. rapi tulisannya, aku kalau nulis masih suka lupa tanda baca. Apalagi kalau fiksi tanda bacanya banyak banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga masih belajar mbak. masih banyak yang harus diperbaiki

      Hapus

Posting Komentar