Seperti umumnya
masyarakat, bulan Ramadhan adalah bulan penuh kebahagiaan dalam keluarga, karena
momen makan bersama yang biasanya jarang terjadi di luar bulan ini, seketika
menjadi rutinitas, baik di waktu buka maupun sahur. Itu pula yang dirasakan oleh
pak Tias dan keluarga kecilnya.
Bahkan ada
beberapa momen luar biasa yang tidak akan ditemukan diluar bulan mulia ini,
salah satunya adalah kuliner khas Ramadhan, biasanya banyak dikonsumsi ketika
buka puasa.
“Pak, mau ibu
buatkan kolak pisang ga hari ini?”.
“Boleh bu,
mantap kayanya nih buat buka puasa”.
Ibu Tias tersenyum
melihat rona sumringah suami tercinta dengan rencananya membuat penganan manis
khas Ramadhan ini.
Jadilah pisang
kepok yang sudah dibeli ibu di eksekusi selepas dzuhur.
Zain yang
penasaran dengan aktivitas ibu di dapur, membuatnya antusias membersamai
memotong-motong pisang.
“Kayanya Zain
belum pernah melihat masakan kolak kalau diluar Ramadhan bu”.
“Iya sayang,
kolak ini Cuma bisa kita temuin di bulan Ramadhan aja, jadi kaya
ciri khas puasa gitu”.
“Oh gitu ya,
jadi ga sabar pingin cepet maghrib”.
Ibu tersenyum
simpul mendengar celoteh ragil semata wayangnya.
***
Adzan Ashar
menggema, harum kolak ibu semerbak tercium, Zain yang siap-siap berjama’ah
dengan ayahnya. Sepintas ia melirik ke dapur
“Udah mateng
bu kolaknya? Harum banget”.
“Sudah sayang,
tinggal nunggu maghrib, sabar ya”.
“Siap mom.”
Selorohnya sambil berlalu menuju ruang shalat disamping ruang keluarga.
Bu Tias selalu
tersenyum dengan kelakuan anak lelaki satu-satunya, semangatnya dalam belajar
puasa menambah semangat ibu untuk menyiapkan menu buka puasa maupun sahur.
Bu Tias
mengambil air wudhu, sejurus kemudian menyusul ke ruang shalat, menunaikan
kewajiban shalat ashar berjamaah.
Kebahagiaan yang
tiada tara terpancar dari keluarga pak Tias, bisa merasakan hikmah Ramadhan
ditengah pandemi corona, hari-hari yang selalu dilalui bersama setelah work
from home dilakukan ayah mengikuti instruksi pemerintah. Jadilah hampir seluruh
shalat wajib dilaksanakan bersama-sama, khusu’ dalam berjama’ah.
Ayah menengadahkan
tangan seusai shalat, memimpin munajat keluarga kepada sang Maha Kuasa. Di akhir
doa yang mengalir, terdengar ketukan pintu diiringi suara salam dari luar pintu
rumah. Ibu segera beranjak setelah selesai mengamini akhir doa sang imam,
bersegera membuka pintu, memeriksa sang tamu.
“Waalaikumsalam,
eh Samsul. Ayo masuk sul”.
Samsul adalah
ponakan pak Tias, baru berkeluarga menuju dua tahun, namun belum di karunia
momongan, ia dan istrinya tinggal di sebuah kontrakan tak jauh dari kampung pak
Tias, hanya terpaut lebih kurang satu kilometer.
Pak Tias yang
masih bersarung menyambut Samsul yang sudah di persilahkan duduk oleh ibu, Zain
juga tak lupa menyalami saudara sepupunya itu, kemudian kembali ke ruang shalat
untuk menyimpan sarung dan pecinya.
Setelah menanyakan
kabar Samsul dan keluarga, pak Tias menanyakan maksud kedatangan Samsul yang
jarang berkunjung ke rumahnya, karena pekerjaannya sebagai kuli bangunan di Jakarta,
sehingga memang hanya sekali dalam dua minggu, bahkan sebulan ia baru pulang ke
rumahnya.
“Kayanya
wajah kamu serius gitu sul, ada apa nih?”
“Maaf om,
sebenarnya saya bukan tak malu datang kesini, tapi juga tak tahu harus kemana
meminta pertolongan, listrik di rumah dari semalam sudah mati, saya belum bisa
membeli token listrik, jangankan untuk listrik, untuk buka puasa hari ini pun
saya...... “ kata-katanya terputus oleh air mata yang sedari tadi ia tahan
sekuat mungkin.
“Semenjak ada
corona, saya dirumahkan, proyek bangunan diberhentikan sementara, biasanya
saya serabutan, tapi akhir-akhir ini belum ada lagi pekerjaan.”
“Maafkan om ya
sul, karena juga tidak tahu kondisi keluarga sendiri, Alhamdulillah kamu datang
kesini. Nanti kalau ada keperluan apa-apa, jangan sungkan-sungkan untuk datang
kerumah ya”.
Pak Tias
beranjak dari dari ruang tamu, menuju dapur dimana ibu sedang siap-siap memasak
untuk buka puasa, ibu yang mendengar percakapan paman ponakan ini mengerti
betul kondisi ekonomi anak laki-laki almarhum kakak suaminya, dan ia dengan
ikhlasnya menyiapkan beberapa liter beras dan mie instan untuk dikemas di kardus
kotak bekas kemasan mie sesuai permintaan pak Tias.
“Ibu tambahkan
kolak pisang ya pak ke kotak beras dan mie nya”.
Bapak mengangguk,
seleret senyum tersimpul, seraya bersyukur melihat kebaik hatian sang permaisurinya.
Kotak kardus
itu jadilah berisi beras, mie, dan kolak pisang hangat yang ibu kemas dalam
kantung plastik bening.
“Sul ini ada
beberapa bahan makanan, mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kamu dan istri, dan
ini... “.
Pak tias
mengeluarkan beberapa lembar uang nominal lima puluh ribuan, kemudian
menyerahkannya pada Samsul.
Samsul benar-benar
tak bisa lagi membendung bulir demi bulir air matanya, rasa syukur membuncah di
raganya, hari ini hidupnya serasa tersambung kembali oleh kebaikan sang paman.
Ucapan terima
kasih diulang-ulang sampai ia pamit dengan menenteng kotak kardus kebahagiaan
untuk dia bersama istri.
Samar-samar
Zain mendengar dan menyaksikan kaharuan paman ponakan ini dari ruang shalat. Bocah
yang akan beranjak ini delapan tahun ini meresapi arti memberi yang memberi
kebahagiaan kepada orang lain, namun hati kecilnya berharap mudah-mudahan kolak yang sedari siang diidamkan tidak semuanya dimasukan kedalam kotak dus.
Wah, sama ya kolak juga untuk puasa...kolaknnya mau dikirim ke plb tuh makanya dimasukin kotak hehehehe
BalasHapusjangan-jangan di palabuan mah kolak na terbuat tina layur... :)
Hapus