Kritik Dunia Pendidikan Islam dalam Film Siksa Kubur

5 komentar

Film Siksa Kubur saat ini menjadi salah satu film yang sedang ramai dibincangkan dengan jalan ceritanya yang antimainstream. Sutradara Siksa Kubur, Joko Anwar memang membuat film ini untuk menjadi bahan diskusi para penontonnya, namun ia juga memang tak menyangka dengan sangat antusiasnya Masyarakat menjadikan Siksa Kubur sebagai bahan obrolan santai maupun serius. 

Di luar hingar bingarnya tentang jalan cerita Siksa Kubur dengan ending yang plot twist, kali ini kita akan mengambil sisi lain untuk didiskusikan dalam film Siksa Kubur ini yaitu tentang dunia Pendidikan Islam, khususnya pesantren yang ditampilkan dalam scene awal-awal film yang dibintangi Faradina Mufti dan Reza Rahadian ini.

Dunia Pendidikan Islam Dalam Film Siksa Kubur

Siksa Kubur bercerita tentang Sita yang mengalami trauma melihat ayah ibunya menjadi korban bom bunuh diri orang yang ketakutan dengan siksa kubur. Ia dan sang Kakak, Adil dikirim pamannya ke pondok pesantren di kampung selepas kedua orang tuanya meninggal.

Sita yang masih shock dengan kejadian yang menimpa orang tuanya bertambah tidak betah dengan pola pengajaran di pesantren tempat ia belajar. Ustazah yang memberi materi saat kelasnya berlangsung menjelaskan Islam dengan cara yang menakutkan juga dengan cara interaksi antara guru dan murid yang membuat siswa tidak nyaman.

Sita bertambah kecewa dengan pesantren tempat ia belajar manakala mengetahui bahwa kakaknya, Adil menjadi korban pelecehan dari donator pesantren yang selama ini dianggap orang yang sangat baik. Dengan segala masalah bertubi-tubi yang ia hadapi di pesantren, ia akhirnya mengajak kakaknya kabur dari pesantren.

Dari beberapa adegan film Siksa Kubur di fase remaja Adil dan Sita di pesantren ini menjadi kritikan yang membangun untuk dunia Pendidikan Agama Islam, khususnya pesantren. Walau sebagai orang yang pernah mengenyam Pendidikan pesantren dan juga menjadi pengurus pesantren saat ini, kejadian-kejadian seperti dalam adegan film Siksa Kubur ini belum pernah dialami secara pribadi, tetapi sekali lagi, ini bisa menjadi bahan kritik konstruktif supaya tidak terjadi hal-hal serupa di dunia nyata pesantren di masa-masa yang akan datang.

1. Cara Penyampaian Materi Keagamaan

Jajang C Noer yang berperan menjadi seorang ustadzah di pesantren digambarkan menjadi sosok pengajar yang menyampaikan materi keagamaan dengan cara yang menakutkan, terlebih tentang materi alam kubur. Sita yang masih marah dengan nasib yang menimpa orang tuanya dan keadaan yang menimpa dirinya dan sang kakak yang ‘dibuang’ ke pesantren tentu tidak bisa menerima dengan apa-apa yang dijelaskan gurunya. Sita bertanya, kenapa agama disampaikan dengan cara menakuti-nakuti?

2. Pola Interaksi Murid dan Guru

Mendapati Sita yang bertanya tentang kenapa agama disampaikan dengan cara menakut-nakuti, sang ustadzah lantas menjawab pertanyaan tersebut dengan gestur yang membuat siswa tidak nyaman. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah murid sampai berhadap-hadapan sangat dekat Ketika menjawab pertanyaan tersebut.

Jika kejadian seperti itu ada di dunia nyata, pastilah ini tidak akan membuat nyaman para murid. Guru memang harus membuat kedekatan dengan setiap murid, tetapi harus membuat nyaman kedua belah pihak.

3. Pelecehan di Pesantren

Belum sembuh kekecewaan Sita dengan cara mengajar ustadzahnya, Sita dihadapkan pada kenyataan bahwa kakaknya menjadi korban pelecehan sesama jenis dari donator pesantren. Ia meronta-meronta minta tolong agar kakaknya dilepaskan, tetapi tenaganya tak kuat menghadapi tenaga-tenaga orang dewasa suruhan donator kaya raya itu.

Realita tentang pelecehan di dunia pesantren akhir-akhir ini yang tersebar di berita-berita dan media sosial memang sangat menyedihkan. Jumlah pelaku seperti ini memang tak banyak, tetapi jelas telah mencederai nama pesantren sebagai tempat belajar agama.

Pesantren-pesantren yang berjalan pada track nya mau-mau tak mau terkena imbas, apalagi orang-orang yang tidak tahu betul tentang pesantren minimal akan mempertanyakan, seperti itukah dunia pesantren? atau lebih parah lagi dengan warganet yang langsung menyerang dengan kata-kata kasar, terutama di media sosial.

Pola Pendidikan Islam di Pesantren

Joko Anwar yang juga menyutradarai Perempuan Tanah Jahanam memang terkenal menampilkan sisi Islam dari angel yang berbeda. Film-film sebelumnya seperti Pengabdi Setan pun sempat menjadi pro dan kontra Ketika menampilkan sosok ustadz yang seakan-akan tidak mempunyai marwah sebagai seorang ustadz, bahkan mati di tangan hantu sekelas pocong.

Beberapa warganet yang kepo dengan dunia pesantren yang ditampilkan dalam film Siksa Kubur pun akhirnya bertanya, apakah seperti itu gambaran dunia pesantren. Bahkan beberapa komentar lain ada yang langsung berkata tidak mau masuk pesantren melihat kengerian dunia Pendidikan Islam dalam film Siksa Kubur ini.

Sejatinya dunia Pendidikan Islam di pesantren tidak sama dengan apa yang digambarkan dalam film Siksa Kubur. Mungkin beberapa kasus ada yang serupa, tetapi dalam tataran ideal, dunia pesantren dalam pengajarannya tetap menggunakan adab-adab yang dijaga dengan baik.

Dunia pesantren mengenal kitab taklim muta’alim sebagai salah satu rujukan bagaimana cara belajar yang baik dan juga mengajarnya. Baik guru maupun murid memiliki adab-adab bagaimana agar ilmu dapat disampaikan dengan baik.

Kritik dalam film Siksa Kubur tentang dunia Pendidikan Islam bisa menjadi cambuk pengingat, khususnya untuk pengurus pesantren agar tetap berjalan pada track seharusnya sesuai dengan ajaran agama, mengajarkan Islam dengan konsep bashir wa nadzir dan juga dengan konsep Rodja dan Khauf, agar pesantren tetap dikenal sebagai lembaga pendidikan yang humanis.

Related Posts

5 komentar

  1. Mbul belum menonton filmnya nih Mas Yonal...kayaknya kok ramai juga ya jadi bahan diskusi. Tapi ngeliat point pointnya jadi agak bikin mikir sih. Karena misalkan udah banyak pondok pesantren yang sistim didikannya memang baik dan ga ada yang aneh aneh, tiba tiba ada suguhan film yang menitikberatkan adanya pelecehan di tempat bertempat di pondok, maka ga jarang akan jadi bahan pemikiran juga calon ortu yang akan sekolahkan anaknya di pondok ya. Meski banyak juga pondok yang sekarang ini bisa dikatakan bagus kurikulumnya...cara penyampaian ajaran agamanya pun ga nakut nakutin atau terlalu yang keras banget hehe......

    BalasHapus
  2. Saya belum nonton film ini dan dari banyak review di media sosial ataupun cuplikan-cuplikannya membuat enggan menontonnya karena dirasa memang lebih banyak efek negatif dari pada positifnya

    BalasHapus
  3. Saya pribadi menyayangkan hadirnya film seperti ini. Jatuhnya malah menakut-nakuti orang untuk belajar agama. Kita membutuhkan banyak film yang bisa 'menangkis' efek buruk film ini. Film seperti Ayat-Ayat Cinta bisa membuat orang-orang lebih tertarik dengan dunia Islam dan menunjukkan akhlak muslim yang baik. Semoga para filmmaker memperbanyak film-film positif.

    BalasHapus
  4. Meskipun pada kenyataannya memang ada beberapa kasus negatif dari pola pendidikan dipesantren (oknum) bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, seperti kasus yang baru-baru ini terjadi seorang santri dari Banyuwangi yang meninggal dibunuh sesama santri dipesantren dan dari pihak pesantren juga aneh ya. Namun, saya rasa tidak semua pesantren memiliki pola pendidikan yang tidak sesuai. Masih Banyak pesantren dengan pola pendidikan dan kurikulum yang bagus, sesuai dengan pendidikan islam yang seharusnya. Jadi munculnya film ini pasti akan menjadi pro-kontra sih. Banyak orang tua juga akan mikir dua kali memondokkan anaknya. Seolah film ini menjadi penguat adanya hal aneh dalam pesantren seperti beberapa kasus ngeri yang terjadi belakangan ini.

    BalasHapus
  5. Saya belum nonton filmnya pak, hanya membaca beberapa review tentang film ini. Dari review-review tersebut, saya berpendapat bahwa sebaiknya menuampaikan ilmu agama itu bukan dengan cara menakut-nakuti tetapi lebih baik melalui pendekatan pada murid ataupun santri.

    BalasHapus

Posting Komentar