Menemani masa
opname sang istri di rumah sakit adalah masa-masa kami bisa kembali berdua,
menikmati waktu bersama, serasa bulan madu. Tapi bulan madu di rumah sakit?
jangan ditanya, karena jawabannya pastilah tidak nyaman. Senyaman-nyamannya
rumah sakit, pastilah lebih nyaman menikmati masa sehat kita di rumah.
Namun kami
berusaha mengakali, membuat suasana rumah sakit senyaman mungkin. Salah satunya
dengan ‘membaca’ sebagai kesamaan hobi dari kami berdua. Maka ketika dokter
menyarankan istri harus dirawat, salah satu peralatan yang kami bawa untuk
bekal di kamar perawatan adalah beberapa buku dengan beberapa genre; novel,
cerpen, komik, sampe buku motivasi.
Suatu malam,
ketika Other Half of Me-nya Elsa Puspita sudah sampai setengah buku,
ketenangan membaca itu agak terusik dengan suara seorang ibu yang terdengar
sedang menelepon di luar kamar rawat kami, terdengar gerak kakinya berlalu
lalang, bolak-balik seperti sedang kebingungan. Suaranya tidak terlalu keras,
namun terdengar jelas ke pendengaran kami di dalam kamar.
Namun magnet
novel yang ada ditangan masih mengalahkan suara si ibu, sepertinya cerita Braga
lebih menarik dibandingkan suara ibu paruh baya yang seperti sedang gundah,
tetapi sang istri yang sedang berbaring, diam-diam ternyata dengan khusu-nya
mendengarkan percakapan ibu itu, pendengaran tajamnya seperti sangat serius mencerna
setiap tutur yang keluar dari mulut di luar ruangan.
Sampai pada
suatu titik, sang istri berkata “yah dengerin deh ibu itu!”.
Demi sang istri
yang berucap, buku ditangan harus mengalah. Dan mulailah telinga ini mencoba
fokus mendengar apa gerangan suara-suara gaduh itu. Ternyata, suara si ibu yang
sedang menelepon itu adalah percakapan yang entah dengan siapa, namun poinnya
sangat jelas, ia sedang mencari bantuan finansial, karena harus membayar biaya
rumah sakit sang anak yang jauh dari estimasinya. Anaknya yang melahirkan, yang
diperkirakan akan normal, ternyata harus dengan jalan operasi sesar, jadilah
biaya yang diperlukan membengkak dari perkiraan awal.
Suara si ibu
terdengar parau, sesekali nadanya meninggi, bahkan terkadang terasa ada nada
putus asa di iringi isak tangis yang tertahan. Ketika sedang fokusnya menelisik
percakapan di gawai itu, sang istri berucap, membuyarkan konsentrasi telinga
dan pikiran ini.
“Yah tolongin
ibu itu”.
“Iya boleh”.
Jawaban singkat tak menolak, karena sudah hapal dengan tabiatnya yang tak tegaan.
“Boleh ga
dengan cincin ini bantu nya?”. Tanyanya sembari memperlihatkan cincin di jari
manisnya.
Tak bisa
menolak, kepala ini hanya mengangguk, menyetujui niat mulianya. Namun karena
suasana malam hari, tak mungkin juga menjual cincin emas itu segera, karena tak
mungkin ada toko emas yang buka. Eh, kebetulan ada uang tunai yang kami bawa di
tas, maka diambilah sementara, digantikan dengan cincin yang disimpan.
Ketika uang itu
sudah siap, tinggal menunggu si ibu menyelesaikan percakapannya. Dan ketika
terdengar gawainya dimatikan, disusullah si ibu, ia agak kaget ketika ada orang
di belakang dan menyapanya.
“Maaf bu, saya
dari ruangan sebelah, mohon maaf tadi terdengar suara ibu ke kamar kami. Ini
ada sedikit dari kami”. Si ibu masih dengan ekspresi kagetnya yang tidak bisa
disembunyikan.
“Bapak siapa?”.
Tanyanya.
“Saya kebetulan
sedang menunggu istri yang kebetulan di rawat juga di kamar sebelah”
Si ibu seperti
masih kaget, namun amplop itu diterimanya.
“Ini tidak
banyak, tapi mudah-mudahan bisa sedikit membantu” kata-kata penutup itu
mengiringi pamitan ke sosok ibu itu, meninggalkannya di depan pintu kamar rawat
dengan wajah yang masih seperti bertanya-tanya.
Malam sudah
semakin larut, istri sudah beristirahat dengan selang infusan di tangannya yang
sudah bertengger dua hari. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dikamar inap kami.
Ketika dibukakan, ternyata sosok ibu tadi dan beberapa orang keluarganya,
beliau mengucapkan terima kasih dan menguntaikan serangkaian doa manis untuk keluarga
kami, terakhir beliau pamit, karena administrasi pembayaran sudah lunas, dan
sudah diberi izin untuk pulang.
Alhamdulillah,
ikut berbahagia dengan kebahagiaan keluarga ibu ini yang bisa segera
meninggalkan rumah sakit.
***
Tentang cincin
itu.
Sudah lama
sekali hati ini ber-azam untuk melingkarkan cincin di jari manisnya,
walaupun istri adalah tipe orang yang tidak memprioritaskan diri untuk menggunakan
perhiasan apapun dari emas. Namun rasa-rasanya, ingin sekali-kali menunjukan
rasa sayang ini dengan sebuah cincin. Maka, ketika Allah memberi rezeki lebih,
niat itu terealisasikan dengan membawanya ke sebuah toko emas, membiarkannya memilih
tipe sesuai keinginanya, dan kemudian mencoba memasukan ke jari manis sebelah
kirinya. Bahagia rasanya melihat cincin itu melingkar di jarinya.
Namun hari itu
ia meminta keikhlasan untuk melepas cincin itu untuk menolong seorang ibu yang
bahkan tidak kami kenal.
Tidak apa-apa
sama sekali cincin itu hilang untuk sementara di jari manisnya, insyaAllah
kelak akan tergantikan. karena cincin itu dikorbankan untuk hal yang lebih
penting, membantu sesama. Walau secara dzohir orang tersebut tidak
dikenal sama sekali, namun tetap ia adalah saudara kita, terlebih saudara
semuslim yang seyogianya harus kita bantu manakala sedang membutuhkan. Itulah prinsip
dalam Islam yang kita kenal dengan ta’awun, yang dengan bahasa sederhana
kita artikan saling tolong menolong.
Malam itu kami
sangat bersyukur, bahwa ternyata beban kami lebih ringan. Betapa tidak, beberapa
hari dalam perawatan di rumah sakit, tanpa harus memikirkan biaya pengobatan, tinggal
membayar asuransi perbulannya. Namun ternyata, masih banyak saudara-saudara
kita yang merasakan buah simalakama ketika berurusan dengan rumah sakit. Sumber
daya manusia yang mumpuni di rumah sakit menjadi ikhtiar dalam mencari
kesembuhan, namun di sisi lain, administrasi pembayaran yang luar biasa menjadi
momok yang kadang membuat terkaget-kaget melihat nominal yang tertera.
Posting Komentar
Posting Komentar