Umi, demikian
beliau dipanggil, suatu ketika pernah menyarankan untuk berhenti kerja di Jakarta,
kembali ke kampung, mengabdi di sebuah madrasah, dan membantunya di majlis
taklim binaannya. Manut adalah jalan satu-satunya, tanpa protes sedikitpun,
karena memang keyakinan akan tuah ucapannya lebih dari apapun.
Walau pada awalnya
beberapa kolega menyayangkan untuk berhenti berjuang mengalahkan ibu kota,
berjuang dari nol, bekerja serabutan, kuli proyek bangunan, dari helper -atau
kenek-, semi skill, skill dan terakhir ketika promosi maintenant, keputusan itu
diambil.
Sekali lagi,
tak ada kompromi dengan segala nasehatnya. Dan itu terbukti, menjalani
kehidupan dengannya, ibarat jalan yang tak putus dari marka. Damainya hidup dan
kenyamanan dalam menjalani hari-hari lebih dari hitungan gaji guru madrasah
yang bahkan tidak sampai seratus ribu rupiah untuk pertama kalinya.
Sebelas tahun
berlalu dari masa itu, namun keberkahan itu tak pernah putus, berhidmat
kepadanya seperti hidup dengan cahaya yang tak pernah redup. Seyogyanya sosok
ibu memang seperti cahaya, menjadi petunjuk langkah yang akan ditapaki oleh
setiap anak-anaknya.
Memiliki sosok
ibu yang luar biasa, adalah anugerah dari Allah, Sang cahaya diatas cahaya.
Allah karuniakan kelembutan hati seorang ibu, walau ia harus mengajarkan betapa
kerasnya dunia, menjadi pil manis penenang penar, di tengah pahitnya kenyataan
hidup.
Untuk para ibu
(dan juga calon ibu) lain, semoga juga bisa menjadi pelita, pelita yang
benderang. Jangan sekali-kali meredup, yang membuat nasabmu ragu dan limpung mengambil setiap keputusan
hidup. Sampaikan anak-anakmu ke surga dengan petunjuk cahayamu, kelak dia akan
mengangkatmu besertanya.
Posting Komentar
Posting Komentar