Dinamika dalam
perjalanan sebuah negara akan terus berlangsung, seperti halnya negeri kita, Tak
henti-hentinya gaduh ramai dengan pelbagai isu, dampaknya sebagian masyarakat
terpecah menjadi golongan pro dan kontra, dan sebagian acuh tak acuh dengan apa
yang terjadi.
Diantara ragam
masalah yang dihadapi oleh negeri kita di tengah pandemi corona ini adalah
kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau dikenal dengan PSBB. Menjadi dilematis
ketika kebijakan PSBB ini berhadapan dengan bulan ramadan. Ramadan dengan segala
budayanya menjadi istimewa bagi umat yang menjadi mayoritas di negeri ini,
termasuk didalamnya pulang kampung dan atau mudik. Namun dengan kebijakan PSBB,
silaturahmi kepada keluarga dan handai taulan yang terpisah secara geografis
harus ditunda sementara.
Ditengah keputusan
yang dilematis demi kerjasama dalam memerangi corona, tetiba muncul narasi yang
membedakan antara kata ‘pulang kampung’ dan ‘mudik’, yang berawal dari
wawancara Najwa Shihab kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo seputar
kebijakan-kebijakan ditengah pandemi corona. Walau presiden dengan gamblang membeberkan
perbedaan kedua kata tersebut, tak ayal hal ini membuat kegaduhan baru di
masyarakat.
Diluar perdebatan
membedakan mudik dan atau pulang kampung, harus dipahami bahwa ada persamaan
mendasar dari kedua kata tersebut ditengah penularan virus corona ini, yaitu adanya
pergerakan atau mobilitas manusia, dimana hal tersebut memungkinkan virus juga
akan lebih mudah menyebar ke berbagai area di nusantara. Jadi, mencari pembenaran
ingin merasakan euforia idul fitri bersama keluarga dengan dalih pulang kampung
diperbolehkan, sepertinya adalah keputusan egois, tak ber-empati dalam situasi
yang belum stabil seperti sekarang.
Bagaimana dengan
nasib orang yang sudah tidak mempunyai pekerjaan di suatu wilayah dan akan
pulang kampung ke wilayah asalnya?. Idealnya wilayah tempat dia mengadu nasib
bisa menanggung sementara waktu kebutuhan dasarnya sampai wabah ini mereda, hal
seperti ini sudah dicontohkan oleh pemerintahan Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Bagaimanapun, indahnya
tanah kelahiran dan keluarga adalah tempat ternyaman untuk berkumpul, terlebih
di suasana lebaran. Namun tahun ini kita harus menang dalam uji nyali kesabaran,
demi Indonesia yang lebih baik. Jangan sampai kita memaksakan kehendak yang
berakibat fatal terhadap nyawa keluarga kita, lebih baik menunggu demi keluarga
jika memang kita benar-benar cinta.
Posting Komentar
Posting Komentar