Dalam budaya
yang telah mengakar, mukena seakan benda yang tak boleh terlewat untuk perempuan
saat akan melaksanakan shalat, juga halnya sarung, semacam kekhasan untuk kaum
adam. Mukena dan sarung, dua produk Kebudayaan yang telah menyatu dengan pelaksanaan
fardhunya shalat.
Dalam perkembangan
kebudayaan, hal yang sama, tak ada secara global, contoh kasus, Negaranya Cleopatra yang menganggap sarung hanya cocok untuk rebahan, dan menganggapnya
tak sopan untuk shalat. Pun dengan mukena warna polos, adalah sesuatu yang khas
dulunya , namun hal tersebut jarang ada untuk negara-negara luar.
Sejurus dengan perkembangan
zaman, mukena dan sarung pun sealur. Mukena dengan ragam bahan menjelma hal yang
lumrah, ragam harga puluhan, ratusan dan jutaan pun ada. Pun dengan sarung yang
tak jauh berbeda, walaupun untuk ragam bahan, sarung jauh sederhana dengan
mukena.
Keluarga besar
pondok pesantren adalah garda terdepan dalam mempertahankan budaya bersarung, sangat
melekatnya sarung, banyak yang penasaran, pak Ma’ruf, dengan latar
belakang pesantren Jawa yang kental, perdana menggunakan setelan jas lengkap
untuk protokoler kenegaraan, out of the box dengan menggunakan sarung.
Berbeda dengan lembaga
atau pesantren modern, penampakan para pelajar dan para ustadznya menggunakan
sarung adalah hal yang jarang. Mereka menganggap sarung bukan hal urgen, tak ada contoh Rasullulah,
bahkan menganggapnya tak nyunah.
Sarung dalam
pandangan kaum modern, hal yang tak harus dalam menuntaskan fardhu shalat. Cukup dengan
celana yang menutup batasan aurat, shalat terlaksana dengan mudahnya. Berbeda
dengan mukena yang bertahan, kaum hawa agak ragu untuk tak menggunakan mukena
dalam shalat, walaupun aurat sudah tertutup sempurna.
Untuk menggunakan
atau tak menggunakan sarung dalam shalat untuk penampakan luar adalah
sebuah hak personal, yang tak akan ada perdebatan dalam melaksanakan shalat
adalah adanya kalbu dalam ucapan dan gerakan shalat, sesuatu yang utama untuk bertaqorub dengan Allah.
Posting Komentar
Posting Komentar