
Silaturahmi ke
saudara terdekat, dan via virtual untuk handai taulan yang jauh pun selesai. Walau
ada yang berbeda, physical distancing dalam bersilaturahmi atau hanya menatap
layar gawai dalam persuaan on line, tak mengurangi makna idul fitri tahun ini.
Apa yang
tersisa setelah hari raya?
Mungkin kue-kue
kering yang dibuat keluarga atau yang dibeli dari kerabat masih tersisa
beberapa stoples. Di dapur? Ada kehangatan disana. Ya, sisa-sisa daging, opor
ayam dan makanan lain yang senantiasa dihangatkan setiap pagi menjadi sensasi
tersendiri setelah idul fitri. Bebeye, demikian nama kuliner legenda yang
selalu ada setelah hari raya.
Ditemani ‘ulen’
sebagai partner sejati, menjadikan bebeye sangat nikmat menemani pagi, teh
hangat atau kopi pahit juga bisa menjadi alternatif.
Ternyata bebeye
punya nama yang beragam di seantero Jawa Barat, orang Bandung biasa menyebutnya dengan Besengek, lain lagi dengan Indramayu yang menyebutnya Baren,
singkatan dari ‘bekas kemaren’, kalau orang cianjur mengenalnya dengan Beleketek.
Masih banyak
lagi sebutan Bebeye dengan kearifan lokal daetah masing-masing, ada kakaren,
golendrang, tumis garing, rarawuan, totongseng, bacetrok, ulukutek, bodoheos,
tumirun, belektrek, balakatineung.
Satu jenis
makanan dengan banyak variasi nama, menjadi ikon lebaran agar makanan sisa tak
terbuang begitu saja. Walau kadang sudah termasuk kategori basi, namun tetap
mewangi di setiap pagi.
Mungkin itulah alasan
kenapa setelah lebaran klinik tempat praktek para dokter lebih padat dengan
para pasien, bisa jadi karena salah satunya mereka terindikasi pasien yang
mabuk bebeye.
Ya demikian, pesona Indonesia.
Posting Komentar
Posting Komentar